Minggu, 09 November 2008

Untuk Ibu Pertiwi


Bukit-bukit di negeriku kini tenggelam Oleh darah dan air mata Apa yang dapat dilakukan oleh seorang anaknya yang merantau? Untuk masyarakatnya yang sengsara? Apa pula gunanya keluh-kesah Seorang penyair yang sedang tidak di rumah? Seandainya rakyatku mati dalam pemberontakan menuntut nasibnya, Aku akan berkata “Mati dalam perjuangan Lebih mulia dari hidup dalam penindasan” Tapi rakyatku tidak mati sebagai pemberontak Kematian adalah satu-satunya penyelamat mereka, Dan penderitaan adalah tanah air mereka Ingatlah saudaraku, Bahawa syiling yang kau jatuhkan Ke telapak tangan yang menghulur di hadapanmu, Adalah satu-satunya jambatan yang menghubungkan Kekayaan hatimu dengan cinta di hati Tuhan. ~ Kahlil Gibran ~

Kebudayaan-nasional-versus kebudayaan komunitas

KATA "Indonesia" awalnya hanya mengandung pengertian ethnological. Ia pertama kali diperkenalkan oleh GW Earl dan JR Logan, pada 1850, dalam dua artikel panjang yang dimuat di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia.

Motif dan intensi politik pada kata ini agaknya dimulai sejak Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indonesische Persbureau di Den Haag pada tahun 1913, disusul perubahan Indische Vereniging menjadi Indonesische Verbond van Studeerenden antara tahun 1917 dan 1919.

Sementara intensi sebagai sebuah ruang kebudayaan modern agaknya muncul lebih kemudian. Memang, gagasan tentang suatu kebudayaan modern telah diapungkan sejak masa Raffles berkuasa di Batavia, lebih menguat lagi sejak digulirkannya proyek Etis.

Namun, gagasan itu, baik yang memusat ke modernisme gaya Raffles maupun modernisme gaya Etis, tidak terpisah dari kenyataan Hindia Belanda sebagai tanah jajahan dengan kepentingan- kepentingan imperial yang melingkupinya.

Intensi di atas menguat seiring dengan bangkitnya kesadaran kebangsaan, khususnya di sekitaran Ikrar Pemuda tahun 1928. Sebelum peristiwa Ikrar Pemuda, lewat telisik pada sejumlah karya sastra yang terbit pada masa itu, suatu yang disebut kebudayaan modern terdiferensiasi dalam kultur intelektual di perkotaan kolonial dan kultur mestizos yang mapan di klab-klab eksklusif yang disebut societeit. Keduanya memiliki kesamaan, yakni sebagai buah yang tumbuh di pohon kolonialisme dan sama-sama mengambang antara dua keping dunia: Barat dan Timur, namun juga berbeda akibat hierarki rasial yang diajekan.

Dengan kesadaran untuk berbeda dengan keduanya, meski sama-sama berada dalam setting kolonialisme, suatu kebudayaan modern yang dibayangkan adalah kebudayaan dengan motif Indonesia merdeka. Motif ini beserta siapa yang menjadi aktor-aktornya dengan sendirinya memberikan jawaban seputar dikotomi antara "menghadap ke Timur" dan "menghadap ke Barat" sebagai basis dari suatu kebudayaan modern itu, sekaligus memberikan jawaban mengapa "menghadap ke Timur" kelak menjadi pilihan dengan faham esensialisme tumbuh subur di dalamnya.

Kenyataan di atas terkesan ironis, terlebih bila mengingat faham esensialisme sesungguhnya dibentuk oleh hasrat kolonialisme itu sendiri. Hasrat untuk berkuasa lebih lama dengan tidak menggunakan kekuatan militer, tetapi dengan membuat kategorisasi lengkap dengan esensi dasar yang menjarakkan antara Barat dan Timur, pemindahan nilai yang tak seimbang antara keduanya, dan sebentuk ketergantungan. Namun, pilihan di atas beserta ironisme yang menyernya dapat juga dikatakan sebagai penemuan tak terduga karena ia agaknya memang buah dari perjalanan sejarah kolonialisme yang tiba-tiba menikung dan membawa masuk fasis Jepang.

Masuknya Jepang menjadi periode kedua bagi perkembangan suatu kebudayaan modern itu. Jepang juga yang agaknya mengenalkan istilah "kebudayaan nasional" diser pengandaian adanya identitas yang murni milik "kita". Dalam rangka "debelandaisasi", Jepang menggusur segala anasir Barat, mulai dari melarang pemakaian bahasa Belanda sampai pada menggalakkan semangat nasionalisme yang condong anti-individualisme di kalangan pemuda. Semboyan kebudayaan nasional, bagi penguasa militer Jepang waktu itu, hanyalah alat dalam upaya memenangi perang melawan Sekutu.
Versus kebudayaan komunitas
Nasionalisme zaman penjajahan dan zaman perang telah memproduksi sebentuk kebudayaan nasional. Kebudayaan yang lahir dalam waktu imperial. Waktu yang ditandai dengan banyak rontoknya ruling class tradisional dan bertabrakannya hasrat new imperialism dengan kesadaran nasionalisme yang menuntut kehadiran waktu yang lain.

Setting waktu imperial, proses produksi yang relatif singkat, yakni sepanjang paruh pertama abad ke-20, ditambah motif diskontinuitas, agaknya mendasari mengapa karakter kebudayaan yang dihasilkan cenderung kaku, represif, dan sentralistis. Dan, karakteristik ini, disadari atau tidak, menjadi praktik diskursif pada kemudian hari. Wacana kebudayaan nasional, khususnya dalam tiga dekade lebih rezim Orba, dengan pemahaman nasionalisme dimonopoli oleh kalangan militer, menjadi alat penyeragaman atas keberbagaian dan keberagaman.

Ajaibnya, wacana kebudayaan nasional kembali menghangat akhir-akhir ini. Melalui suara yang ramai meneriakkan perlunya memberi frame nasionalisme dan patriotisme pada kebudayaan, khususnya pada produk-produk kesenian, terutama kesastraan yang dinilai "sesat" atau malah antek imperialis, wacana kebudayaan nasional seperti menemukan waktu revitalisasinya. Tentu tak ada yang salah dengan wacana ini. Bahkan malah sebaliknya, ia mungkin sangat relevan dihadapkan dengan persoalan ketidakadilan sosial yang terus berlangsung di Republik ini.

Namun, sayangnya, wacana di atas justru mengarahkan dirinya untuk menjadi satu persoalan baru. Ia dengan jelas masih melembaga pemikiran kebudayaan sebagai produk nasionalisme zaman lampau. Ada histeria esensialisme yang dikandungnya. Histeria yang lahir dari sebentuk oposisi binear, pengandaian tentang adanya identitas yang otentik dan murni milik "kita", dan kepanikan ketika mendapati kebudayaan bergerak demikian bebas.

Melalui wacana tersebut terkesan ada intensi yang di satu sisi hendak mengontrol dan menggiring kembali pemahaman kebudayaan dalam kategorisasi berdasarkan kotak-kotak "nasional" dan etnik dan menjadi instrumen nilai-nilai yang dianggap adiluhung dan ajek. Sementara di sisi yang lain, ia mengabaikan, bahwa pada hari ini kebudayaan tidak lagi dapat digeneralisasi lewat penandaan itu. Dewasa ini kebudayaan tumbuh dalam lingkup komunitas dengan lokalitas dan sentimen komunitas sebagai basisnya.

Di lingkup komunitas, produk kebudayaan merepresentasikan keberagaman sebagai keniscayaan. Ia merupakan bangunan nilai dan pengetahuan yang tidak seragam, yang berdialog dengan kenyataan sejarahnya sendiri dan dengan pengandaian-pengandaian pada sebentuk esok yang tidak harus sama.

Alhasil, memaksakan wacana kebudayaan dengan frame nasionalisme dan patriotisme abad ke-20 di dalam kebudayaan komunitas tentu berpotensi menjadi kejahatan normatif dan diskursif. Namun, ini bukan berarti kebudayaan komunitas sepenuhnya bebas dari nilai-nilai itu. Persoalannya ialah nilai-nilai tersebut tidak hadir secara verbal dan eksplisit, melainkan sering secara metaforik.

Agus Hernawan, Cohort VI Ford Foundation, Bergiat dalam Roda for Education and Culture
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Januari 2008

Potret buram nasib perempuan dalam sastra

NASIB kaum perempuan Indonesia di tengah dominasi budaya patriarkhi dapat ditelusur sejak roman Siti Nurbaya (1920) karya Marah Rusli yang terbit pada masa pra-Pujangga Baru. Menjadi representasi dari keadaan zamannya, dalam novel itu perempuan digambarkan dalam posisi yang lemah dan menjadi 'korban' kepentingan orang tua, adat, dan nafsu lelaki. Untuk melunasi hutang ayahnya, Siti Nurbaya harus menikah dengan Datuk Maringgih, lelaki tua yang sudah bau tanah.

Meskipun ditulis oleh pengarang lelaki, dan tidak secara jelas membela kaum perempuan, novel tersebut sebenarnya dapat dimaknai sebagai suatu 'kesaksian zaman' tentang nasib kaum perempuan. Karena itu, dalam jangka panjang kesaksian itu dapat mengundang empati terhadap nasib kaum perempuan, dan pada akhirnya akan mengundang pembelaan. Kenyataannya, pada pasca-kolonialisme, Siti Nurbaya cukup memberi inspirasi untuk mendorong kebangkitan kaum perempuan agar tidak bernasib seperti Siti Nurbaya.

Namun, pada kenyataannya pula, dalam rentang sejarah sastra Indonesia yang cukup panjang, lebih banyak karya sastra Indonesia, karya para penulis Muslim atau bukan, lebih banyak menempatkan perempuan dalam posisi tertindas. Kondisi tersebut, jelas memberikan pencitraan negatif pada perempuan sebagai 'mahluk kelas dua' yang lemah dan gampang dikuasai oleh kaum lelaki. Hingga kini, tokoh-tokoh perempuan kerap ditulis menjadi korban kekerasan, penindasan, perkosaan, dan bahkan pengucilan.

Potret buram nasib perempuan dalam sastra itu terentang sejak masa Siti Nurbaya, dan novel sezamannya, seperti Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, serta karya-karya para penulis Indo-Belanda dan peranakan Cina yang cukup marak pada abad sebelumnya (1890-an), seperti Nyai Dasima (1890) karya G Francis, Nyai Isah karya F Wiggers, Nona Leonie karya HFR Kommer, dan Rosina karya FDJ Pangemanan. Meski tokoh-tokoh utamanya dilukiskan sebagai perempuan tegar, kaum perempuan di sekitarnya cenderung digambarkan bodoh, miskin, lemah, dan jadi korban budaya patriarkhi. Dalam Surat-Surat Kartini, meskipun ada pesan emansipatoris, perempuan (Kartini), juga digambarkan lemah dan jadi korban budaya patriarkhi.

Ditarik seabad lebih ke masa terkini, potret buram kaum perempuan miskisn, bodoh, dan cenderung jadi korban masih terlihat pada banyak karya sastra Indonesia, termasuk yang lahir dari para penulis Muslimah, seperti Dianing Widya Yudhistira dalam novel Sintren (2007). Tokoh utamanya, Saraswati, adalah gadis cantik yang lemah, bodoh, dan miskin, yang harus menjadi penari sintren dan 'dikorbankan' untuk kekuasaan lelaki. Dalam cerpen Jaring-jaring Merah, Helvy Tiana Rosa juga memotret kaum perempuan Aceh yang menjadi korban kekerasan kaum lelaki di tengah konflik bersenjata antara TNI dan GAM. Dalam novel Matahari di Atas Gilli karya Lintang Sugianto, meskipun ada semangat emansipatoris, kaum perempuan rata-rata juga digambarkan lemah, tidak terdidik, dan banyak yang meninggal saat melahirkan.

Tentu tidak terlalu meleset untuk mengatakan bahwa gambaran tentang perempuan dalam sastra Indonesia, juga karya-karya sastra dari dunia Islam serta Negara-negara berkembang pada umumnya, cenderung buram dan menjadi kaum yang tunduk dalam budaya patriarkhi. Belakangan ini, kita dapat membaca makin banyak karya sastra (novel) dari dunia Islam, baik dari kawasan Timur Tengah, Asia, maupun Afrika, dengan gambaran nasib perempuan yang kurang lebih sama.

Gambaran ideal
Upaya untuk menggambarkan sosok perempuan secara lebih ideal, sebenarnya telah kerap juga dilakukan oleh sementara pengarang Indonesia. Dalam novel Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya, tokoh perempuan (Tuti) digambarkan sebagai sosok yang terpelajar, modern, berpikiran maju, dan menjadi tokoh pergerakan yang tegar. Kaum perempuan 'memimpin proses perubahan sosial' kea rah kemajuan bangsanya, khususnya kemajuan kaum perempuan.

Namun, idealisasi sosok perempuan yang 'bersemangat pembebasan' seperti itu tidak memiliki mata ran yang kuat hingga sekarang. Semangat pembebasan kaum perempuan dalam novel-novel mutakhir yang popular, seperti Saman karya Ayu Utami, justru keblinger pada semangat 'feminisme sempalan' yang cenderung berorientasi pada 'kebebesan perempuan untuk menikmati seks di luar nikah dan dari aturan moral'. Pembebasan seperti ini justru mengembalikan posisi perempuan sebagai objek kaum lelaki secara lebih ekstrem. Untungnya, Saman tidak ditulis oleh pengarang Muslim, sehingga kita cukup mengerti saja semangat sekulernya.

Kenyataannya, dalam realitas kehidupan masa lalu dan masa kini, kaum perempuan memang masih cenderung menjadi objek, atau mengobjekkan diri, untuk kaum lelaki. Maraknya bisnis pelacuran, terselubung maupun terang-terangan, juga media-media porno bergambar perempuan telanjang, adalah realitas jender bersisi dua. Pada satu sisi, perempuan menjadi objek kaum lelaki, dan pada sisi lain perempuan sengaja mengobjekkan diri untuk lelaki demi uang. Jadi, perempuan berposisi sebagai objek sekaligus subjek. Apalagi, pada kenyataannya, kebanyakan germo pelacur adalah perempuan juga. Sementara, pada banyak kasus pelecehan seksual, seperti yang menimpa para TKI, kaum perempuan jelas-jelas menjadi korban lelaki, dan mereka sangat layak diselamatkan.

Persoalannya kini adalah bagaimana agar sastra Islam (seperti tema awal tulisan ini) agar dapat menjadi pelopor perjuangan jender yang efektif untuk membebaskan kaum perempuan dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan kaum lelaki. Tentu, bukan pembebasan dalam pengertian 'bebas dari aturan moral, batasan tabu dan etika seksual' semacam Saman, tetapi semangat pembebasan yang lebih Islami. Dalam hal ini, pencitraan perempuan yang 'menokoh' seperti Tuti dalam Layar Terkembang, dengan sentuhan yang lebih Islami, kiranya lebih cocok untuk Indonesia.

Mungkin itu terlampau ideal, dan agak berjarak dengan realitas. Tetapi, untuk mendorong proses perubahan sosial kaum perempuan di dunia Islam, khususnya di Indonesia, selain dibutuhkan potret nasib perempuan yang senyatanya, sering juga dibutuhkan idealisasi dengan kehadiran sosok-sosok perempuan teladan -- perempuan pelopor yang mampu membebaskan kaumnya dari kemiskinan, kebodohan dan penindasan -- yang dapat menjadi semacam kiblat mobilitas vertikal mereka. Dan, inilah 'ranah perjuangan' yang belum banyak digarap oleh pengarang Muslimah kita.

BSW Adjikoesoemo, Alumnus Filsafat UGM, Ketua Forum Indonesia Bangkit
Sumber: Republika, Minggu, 06 Januari 2008

Sabtu, 08 November 2008

Sebuah Ungkapan Untuk Sahabat

Bagi Sahabatku Yang Tertindas

Wahai engkau yang dilahirkan di atas ranjang kesengsaraan,
diberi makan pada dada penurunan nilai,
yang bermain sebagai seorang anak di rumah tirani,
engkau yang memakan roti basimu dengan keluhan dan meminum air keruhmu bercampur dengan airmata yang getir.
Wahai askar yang diperintah oleh hukum yang tidak adil oleh lelaki yang meninggalkan isterinya,
anak-anaknya yang masih kecil,
sahabat-sahabatnya,
dan memasuki gelanggang kematian demi kepentingan cita-cita, yang mereka sebut 'keperluan'.
Wahai penyair yang hidup sebagai orang asing di kampung halamannya, tak dikenali di antara mereka yang mengenalinya,
yang hanya berhasrat untuk hidup di atas sampah masyarakat dan dari tinggalan atas permintaan dunia yang hanya tinta dan kertas.
Wahai tawanan yang dilemparkan ke dalam kegelapan kerana kejahatan kecil yang dibuat seumpama kejahatan besar oleh mereka yang membalas kejahatan dengan kejahatan,
dibuang dengan kebijaksanaan yang ingin mempertahankan hak melalui cara-cara yang keliru.
Dan engkau, Wahai wanita yang malang,
yang kepadanya Tuhan menganugerahkan kecantikan.
Masa muda yang tidak setia memandangnya dan mengekorimu,
memperdayakan engkau,
menanggung kemiskinanmu dengan emas.
Ketika kau menyerah padanya, dia meninggalkanmu. Kau serupa mangsa yang gementar dalam cakar-cakar penurunan nilai dan keadaan yang menyedihkan.
Dan kalian, teman-temanku yang rendah hati,
para martir bagi hukum buatan manusia.
Kau bersedih, dan kesedihanmu adalah akibat dari kebiadaban yang hebat,
dari ketidakadilan sang hakim, dari licik si kaya,
dan dari keegoisan hamba demi hawa nafsunya Jangan putus asa,
kerana di sebalik ketidakadilan dunia ini,
di balik persoalan, di balik awan gemawan,
di balik bumi, di balik semua hal ada suatu kekuatan yang tak lain adalah seluruh kadilan, segenap kelembutan, semua kesopanan, segenap cinta kasih.
Engkau laksana bunga yang tumbuh dalam bayangan.
Segera angin yang lembut akan bertiup dan membawa bijianmu memasuki cahaya matahari tempat mereka yang akan menjalani suatu kehidupan indah.Engkau laksana pepohonan telanjang yang rendah kerana berat dan bersama salju musim dingin. Lalu musim bunga akan tiba menyelimutimu dengan dedaunan hijau dan berair banyak.Kebenaran akan mengoyak tabir airmata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para penindasmu.

~ Khalil Gibran ~

ungkapan khalil gibran untuk bunda

IBU

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibinya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

:+: Khalil Gibran :+: